Sitinjausumbarnews.com - Sekretaris Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Provinsi Sumatera Barat Armaidi Tanjung kembali meluncurkan bukunya. Kali ini berjudul “Tragedi Kanso, Trauma Etnisitas Cina di Pariaman 1945”, berlangsung di Sekretariat Satupena Sumbar Jalan Cinduamato No. 13 Padang, Senen (23/1/2023).
Menurut Armaidi , buku ini menguraikan
peristiwa kanso yang pernah terjadi di Pariaman saat peralihan kekuasan
pemerintahan Jepang kepada pemerintahan Republik Indonesia yang baru
dimerdekakan tahun 1945. Peristiwa kanso yang dilakukan pejuang-pejuang yang
mendukung penuh kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap oknum
warga keturunan Cina yang menjadi
mata-mata Jepang.
“Beberapa tahun belakangan ini sudah
mulai ada tulisan yang menyebutkan peristiwa itu terjadi tahun 1944. Padahal
dari kronologis peristiwa kanso, peristiwa tersebut terjadi tahun 1945 seusai
menyerahnya Jepang terhadap Sekutu yang disusul dengan proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia oleh Soekarno dan Mohammad Hatta,” kata Armaidi yang juga
menulis buku, Kota Pariaman Dulu, Kini
dan Masa Depan ini.
Buku setebal 192
halaman diterbitkan Pustaka Artaz dengan pengantar dari Dr.
Hasanuddin, M. Si. Datuk Tan Patih, dosen Universitas Andalas Padang. “Buku ini sangat penting dalam fenomena relasional
antar etnik di Indonesia akhir-akhir ini. Sebab, dalam sejarah panjang
keindonesiaan, mulai dari perjuangan pengusiran penjajah sampai merdeka dan
melalui masa-masa sulit pengisian kemerdekaan yang hingga hari ini masih
dipertanyakan apakah sudah berhasil atau tidak, slogan bhinneka tunggal ika
masih tetap diuji,” kata Hasanuddin.
Dikatakan Hasanuddin, sebagai sebuah tragedi
dalam masa revolusi fisik, apalagi didasari oleh tindakan pengkhianatan,
sebagai mata-mata musuh, jelas “tragedi kanso” itu sulit untuk dikatakan
sebagai tindakan intoleran terhadap kelompok etnis Cina di Pariaman.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh oknum dari komunitas Cina saat itu telah
menimbulkan banyak korban di pihak pejuang pribumi. “Akibatnya, upaya pejuang
Republik untuk memperkuat diri dalam mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan
yang hendak berkuasa kembali (Belanda) mengalami hambatan sangat berarti,”
tulis Hasanuddin.
Hasanudin merekomendasikan
buku ini dibaca tuntas. Terlepas dari berbagai kelemahan yang ada, buku ini
telah menghadirkan petaan histori, dudukkan posisi, dan tatapan masa depan
multikultual di Kota Pariaman, Minangkabau, dan Indonesia pada umumnya yang
harmoni.
“Kebinekaan atau multikulturalisme adalah ibarat sebuah
mozaik atau taman bunga yang asri, kebermaknaannya bukan pada kesewarnaan tapi
justru pada realitas warna-warni. Implikasinya, dalam keniscayaan toleransi
demi tatanan yang harmoni, keseragaman tidak dikehendaki, dan dinamika sosio
kultural kebinekatunggalikaan justru pada pemertahanan perbedaan dengan
penguatan jati diri,” tulis Hasan.
"Saya menyambut baik buku Tragedi Kanso ini. Agar
kita bisa mengungkap sejarah, apa betul etnik Cina ditolak di Pariaman? Baik juga buku ini
dibaca para guru sejarah untuk mengajarkan ke muridnya hingga mengubah persepsi
orang tentang Minangkabau terutama Pariaman," tutur Ketua DPD Satupena
Sumatera Barat Sastri Bakry menambahkan.