Bagi setiap orang pernikahan merupakan sesuatu hal yang sakral, begitupun dengan masyarakat Minangkabau. Setiap manusia sangat menunggu-nunggu akan datangnya hari bahagia itu.
Pernikahan adalah salah satu pristiwa menuju dewasa untuk melanjutkan hidup kedepannya dengan pasangan dan untuk melanjutkan sistem keturunan. Selayaknya pernikahan pada umumnya, setiap melangsungkan acara pernikahan pasti tidak lepas dengan pakaian adatnya.
Setiap daerah di Indonesia mempunyai pakaian adatnya sendiri-sendiri begitupun dengan suku Minangkabau, yang dimana pakaian adat yang digunakan saat upacara pernikahan ialah suntiang dan baju kuruang. Sebelum itu perlu diketahui bahwa pengantin perempuan di Minang di sebut dengan anak daro. Anak daro adalah sebutan untk pengantin di Minang.
Pakaian pengantin yang berupa suntiang dan baju kuruang merupakan simbol dari pernikahan di Minangkabau. Suntiang bukan hanya sekedar aksesoris kepala dalam acara pernikahan di Minangkabau, namun lebih dari itu suntiang terdapat makna di dalamnya.
Makna suntiang tersebut adalah sebagai simbol atau lambang bahwa seorang anak gadis di Minangkabau sudah memasuki usia dewasa yang dimana sudah akan menempuh hidup yang baru atau hidup yang lebih berat dari sebelumnya.
Suntiang dibuat dari bahan tembaga, emas, atau perak, yang dimana hal tersebut menyebabkan suntiang menjadi berat ketika sedang dipakai. Suntiang yang berat inilah yang melambangkan simbol bahwa seorang wanita yang akan menikah tersebut akan dituntut menjadi seorang yang tangguh sesuai dengan sebab yang ditanggungnya ketika menggunakan suntiang tersebut.
Dalam hal tanggung jawab setelah menikah seorang wanita bukan hanya tanggung jawab kepada suaminnya namun juga kepada lingkungan sekitarnya. Pertanggung jawaban seorang wanita yang sudah menikah di Minangkabau membawa nama keluarganya, nama Niniak mamak kaumnya, dimana dia harus menjaga nama baik kaumnya tersebut.
Berat suntiang biasannya sekitar 3,5 hingga 5 kilogram. Jumlah hiasan pada suntiang biasanya berjumlah ganjil. Paling banyak jumlah hiasannyan yaitu sebelas tingkat dan yang paling sedikit berjumlah tujuh tingkat. Pada saat dahulu suntiang berupa komponen-komponen kecil yang nantinya dirangkai sedemikian rupa agar menyerupai sebuah mahkota bertingkat.
Cara penggunaan suntiang pada zaman dahulu yaitu dengan disematkan pada sanggul. Namun seiring perkembangannya zaman suntiang sudah dibuat dengan versi modernnya, yang mana suntiang pada zaman sekarang sudah ada kerangkannya sehingga pemakainnya lebih instan dan lebih cepat.
Hal ini sangat berbeda dengan suntiang pada zaman dahulu yang sangat terasa filosofinya dan repotnya menggunakan suntiang tersebut. Dari beratnya pun tentu berbeda, Jika perempuan zaman dahulu memakai suntiang sampai menyebabkan pusiang, karena memang bahan yang digunakan pada zaman dahulu sangat berat sesuai dengan fungsinya bahwa suntiang tersebut melambangkan masa peralihan dari remaja memasuki fase dewasa yang dimana akan bertambahnya tanggung jawab yang nantinya akan dihadapi dan beratnya tanggung jawab tersebut. Namun pada zaman sekarang suntiang yang dipakai anak daro sudah ada versi yang lebih ringannya walaupun tidak menutup kemungkinan masih ada juga yang menggunakan suntiang yang berat.
Dan untuk baju yang digunakan pada pernikahan adat Minang ini ialah baju kuruang yang merupakan hasil akulturasi agama islam dan budaya Minangkabau. Sebagai mana filsafah orang Minangkabau yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Yang artinya “ adat bersendi kepada agama, agama bersendi pada Al-Quran.
Filosofi hidup yang di pegang dalam masyarakat Minangkabau, yang menjadikan ajaran Islam sebagai satu satunya landasan dan atau pedoman tata pola perilaku dalam berkehidupan. Busana pengantin adat Minangkabau menyesuaikan filosofi tersebut. Bahwasannya pakaian nyang digunakan harus menutup aurat sesuai kewajiban seorang wanita muslim.
Yang di dalam Al-Quran pun mewajibkan seseorang wanita muslimah memakai pakaian yang menutup aurat. Segala peraturan-peraturan berpegang kepada kitab Allah. Baju kuruang pun sudah menyimbolkan hal tersebut, dimana baju kuruang adalah baju yang longgar dan panjang yang tujuannya untuk menutup aurat.
Unsur utama pakaian adat pengantin wanita adalah baju kuruang (atasan) dan kodek (bawahan), yang dilengkapi dengan atribut lainnya, yaitu perhiasan berupa kalung dan gelang. Baju kuruang dihiasi sulaman benang emas dan bermotif bunga-bunga yang disebut tabua (tabur). Pasangan atau bawahan dari baju kuruang adalah kodek.
Kodek digunakan sebagai pengganti rok berupa sarung, yang terbuat dari songket. Selain songket, kodek juga dapat dibuat dengan menggunakan bahan yang sama dengan bahan baju kuruang. Baju kuruang identik dengan warna merah yang dimana warna merah ini melambangkan keberanian dan kepahlawanan, Kuning mengandung arti kerajaan.
Warna-warna cerah ini membuat rona kebahagiaan sang mempelai wanita nampak terasa. Senyum manis menambah kecantikan sang mempelai dalam busana adat pengantin Minangkabau.
Kuruang bermakna bahwa seseorang perempuan tersebut dikurung dengan aturan-aturan dan undang-undang yang berlaku di Minangkabau. Sedangkan tabur pada baju kuruang dilambangkan dengan kekayaan alam Minangkabau. Pada kenyataannya zaman sekarang banyak yang memodifikasi baju kuruang dengan gaun-gaun yang ketat sehingga tidak lagi menutupi aurat.
Seiiring perkembangan zaman orang-orang tidak lagi peduli dengan makna dan symbol dibalik baju penganti tersebut. Dengan tetap memakai suntiang namun dengan memakai baju yang sangat pas di badan yang tidak melambangkan baju kuruang seharusnya.
Dan juga semakin banyak kreasi-kreasi yang berkembng seperti ditambahkan ekor yang panjang ke belakang. Baju kuruang sekarang bukan lagi berlandasan kepada Al-Quran. Orang-orang yang memakai baju anak daro dengan menggunakan dress-dress yang ketat tersebut tidak merujuk kepada filosofi Minangkabau itu sendiri, mereka hanya sekedar menggunakan dengan gaya mereka sendiri.
Mereka hanya sekedar memakai baju adat Minang saja. Dengan berkembangnya zaman, model-model baju adat pun juga ikut tergerus perkembangan zaman. (***/)