Buku yang cukup tebal ini adalah karya para perempuan muda NU yang terwadahi dalam Fatayat NU dan akan menjadi saksi sejarah pada masa-masa yang akan datang. Ide penulisan buku ini gulirkan dan difasilitasi oleh Ketua Umum PP Fatayat NU ketika itu, Maria Ulfah Ansor.
Mengungkap jejak perempuan sesungguhnya merupakan usaha menapaki lorong sebuah zaman. Ia menjadi cermin dari jejak sebuah bangsa dengan system sosial dan pergulatan ideologi, politik, dan kebijakan yang diterapkan dari satu periode pemerintahan ke pemerintahan yang lain.
Hal ini nampak jika dicermati perjalanan panjang sejumlah perempuan NU. Melalui organisasi Fatayat NU, mereka berusaha mengabdikan dirinya kepada bangsa dan agamanya. Utama pada agamanya, karena sistem inilah yang menginternalisasikan nilai bahwa sebaik-baik manusia adalah yang hidupnya memberi manfaat pada sesama. Karena itu, menapaki jejak perempuan NU (Fatayat) adalah usaha menafasi bagaimana pergulatan perempuan Islam di Indonesia, sesuatu yang selama ini di abaikan oleh rangkaian peta sejarah Islam dan sejarah bangsa Indonesia.
Buku istimewa ini terdiri dari empat (4) bagian besar, yakni; bagian 1, Fatayat NU dalam Periode Perintisan (1950-1953), bagian 2, Fatayat NU Dalam Periode Konsolidasi Dan Perkembangan Organisasi (1953-1969), bagian 3, Kebangkitan kembali Fatayat NU (1979-1995), dan terakhir, bagian 4, Fatayat NU: Transisi Menuju Demokrasi (1995-2005), halaman, vii.
Tujuh belas (17) tokoh Fatayat NU dalam buku ini menjadi sumber informasi, dengan metode wawancara menceritakan proses perjuangan, pengorbanan, pengabdian, perkhidmatan sekaligus pergerakan Fatayat NU sesuai karakter zamannya masing-masing.
Ketua Umum PP Fatayat NU, masa khidmat 2000-2005, Maria Ulfah Ansor, dalam sambutan buku ini menyampaikan, buku sejarah Fatayat NU yang ditulis periode ini adalah merupakan revisi atau penyempurnaan dari buku sejarah yang pernah terbit sebelumnya yaitu pada tahun 1980/1983. Dasar pemikiran perlunya penulisan kembali sejarah Fatayat NU adalah rentang waktu perjalanan yang lebih dari 22 tahun, sejak 1983 hingga 2005, Fatayat NU sebagaimana organisasi lain telah banyak mengalami perubahan pasang surut yang penting untuk di dokumentasikan.
Buku ini tidak hanya bermanfaat bagi anggota Fatayat NU, tetapi bagi seluruh perempuan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, gerakan yang dilakukan oleh Fatayat NU selama ini sesungguhnya bagian dari gerakan perempuan Indonesia bahkan gerakan perempuan di dunia, halaman, xii.
Ketua Umum PBNU, KH. A. Hasyim Muzadi, dalam pengantar buku ini menyampaikan, sebagai buku sejarah, buku ini patut dijadikan cermin bagi kader-kader Fatayat NU agar dapat memahami bagian-bagian penggalan sejarah yang pernah menyelimuti tubuh Fatayat NU dimasa lalu. Dengan memahami kemasalaluan justru harus dapat kita jadikan model gerak motorik kita untuk membangun kemasadepanan Fatayat NU dimasa yang akan datang. Bukan sebaliknya, hanya menjadikan archive yang hanya dipajang di rak aksesoris yang tak bermakna apa-apa selain kebanggaan semu.
Semoga terbitnya buku ini dapat memotivasi para penulis muda perempuan NU yang lainnya untuk dapat menghasilkan karya-karya bagus dan berbobot, sebab tradisi tulis di lingkungan NU sunggguh dirasa masih kering dan kurang semarak bila dibandingkan komunitas-komunitas lain, halaman xiv.
Buku istimewa ini terdiri dari 4 (empat) BAB yaitu; BAB 1, Fatayat NU dalam periode perintisan (1950-1953), BAB 2, Fatayat NU dalam periode konsolidasi dan perkembangan organisasi (1953-1969), BAB 3, Kebangkitan kembali Fatayat NU, dan BAB 4, Fatayat NU: Transisi menuju demokrasi (1995-2005).
Proses mendirikan Fatayat NU tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kendala dan hambatan banyak sekali, baik yang bersifat struktural maupun kultural, secara rinci berikut ini berbagai kendala dan hambatan tersebut antaralain; pertama, tidak di dukung oleh Syuriah PBNU. Kedua, tradisi patriatkhi dan patronase, dan ketiga, lemahnya sumber daya manusia putri NU, halaman 12.
Secara menyeluruh tidak bisa dibilang berapa banyak keterlibatan perempuan-perempuan NU dalam menggagas keberadaan Fatayat NU, namun secara spesifik para peletak dasar Fatayat NU adalah tiga serangkai, yakni; Ibu Aminah Mansur dari Sidoarjo, Ibu Khuzaimah Mansur dari Gresik, dan Ibu Murtasyiyah dari Surabaya. Fatayat NU resmi didirikan pada 24 April 1950, melalui keputusan yang dilahirkan dalam Muktamar NU ke-18 di Jakarta, halaman 35.
Pada awal berdirinya ditahun 1950, Fatayat NU hanya punya enam cabang, yaitu; Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Jember, Malang dan Gresik. Program pertama adalah pembentukan cabang dan memperbanyak jumlah anggota. Hadirnya Fatayat NU di Indonesia ini tidak lain adalah juga adanya dukungan dari fungsionaris PBNU, terutama Ketua Umum PBNU, KH. Muhammad Dahlan. Beliau memberikan semangat, membimbing, dan motivasi, karena jasanya Fatayat NU bisa tumbuh dan berkembang hingga saat ini.
Selain tiga serangkai peletak dasar Fatayat NU di atas, tokoh-tokoh Fatayat NU yang ikut berproses dalam periode rintisan ini adalah Nihayah Bakri dari Surabaya, Maryam Manan Thoha dari Surabaya, Sholehah dari Surabaya, Asnawiyah dari Gresik, dan Matsani Muzayyin dari Surabaya, beliau ini adalah pembuat lambang organisasi Fatayat NU.
Setelah melewati masa periode rintisan, Fatayat NU memasuki fase konsolidasi dan perkembangan organisasi (1952-1959). Para tokoh-tokoh Fatayat NU pada fase ini antaralain; Khusnul Khotimah Ali dari Malang, Nyai Hj Chodijah Quraisyin Imron Rosyadi dari Banten, Asmah Sjahruni dari Kota Rantau, Kalimantan Selatan, dan Nyai Aisyah Hamid Baidlowi dari Jakarta.
Pada fase ini berkonsentrasi pada pengembangan struktur organisasi dengan menambah jumlah cabang sekaligus jumlah anggota agar menyebar sampai keluar Jawa. Fatayat NU mulai membangun jaringan dan terus menarik simpatik masyarakat. Beberapa pergerakan yang dilakukan adalah mengadakan beberapa kegiatan kursus; bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan kursus-kursus keterampilan.
Fatayat NU di era ini ikut menjadi anggota PORPISI atau semacam jaringan organisasi pemuda Islam. Dalam PORPISI ini Fatayat NU bersinergi dengan organisasi - organisasi Islam lain untuk menyuarakan pendapat para pemuda Islam dalam menanggapi masalah-masalah kebangsaan. Selain itu, Fatayat NU juga pernah bekerjasama dengan jaringan organisasi pemuda internasional Word Association Youth (WAY), di forum internasional ini Fatayat NU pernah ikut berperan dengan organisasi kepemudaan lain untuk memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara, halaman 55.
Pada fase ini, Fatayat NU juga terlibat dalam KOWANI, berkiprah di PKK, bergabung dalam organisasi Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI), dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Kenapa Fatayat NU harus ada dimana – mana ? Fatayat NU mempunyai dua muka yang tak terpisahkan: keperempuanan dan kepemudaan, halaman 86.
Fase berikutnya adalah kebangkitan kembali Fatayat NU(1979-1994). Tokoh-tokoh Fatayat NU pada era ini antaralain; Nyai Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid dari Jombang, Jawa Timur, Sri Mulyati Asrori dari Jakarta, Lisa Syaiful Masyjurdan, Suningti Munier, Ermalena, dan lain-lain.
Pada fase ini jaringan Fatayat NU diperluas, sebagaimana telah dirintis pada fase sebelumnya yakni telah berkiprah pada KOWANI, KNPI. Pada era Nyai Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid, dan kawan-kawan ini bersinergi, merambah kerjasama pada UNICEF dan Departemen Agama, halaman, 97.
Kiprah Fatayat NU dalam panggung politik mulai diperhitungkan, Nyai Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PPP dengan bersuara lantang untuk memperhitungkan sekaligus memperjuangkan kesejahteraan perempuan, salah satunya agar segera disahkan UU KDRT (Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga), halaman 102
Kiprah Fatayat NU pada era ini jaringan pemberdayaan perempuan muda NU diperluas dengan beberapa program, antaralain; Bina Balita, Buku Pelatihan Kader, Buku Sejarah Fatayat NU, kerjasama dengan Departemen Kesehatan, kerjasama dengan LSM ALTERNATIV dari Perancis, kerjasama dengan P3M, dan lain-lain.
Fase berikutnya adalah Fatayat NU : Transisi Menuju Demokrasi (1995-2005). Tokoh-tokoh Fatayat NU pada era ini antaralain; Hj. Sri Mulyati Asrori, MA dari Jakarta, Hj. Najmia Razak, Hj. Musdah Mulia, MA dari Sulawesi Selatan, Ermalena, Hj. Yayuk Istihanah, Maria Ulfah Anshor, drg. Ulfah Masfufah, Hj. Siti Marhamah Mujib, Dr. Wan Nendra Komarudin, dan lain-lain.
Capaian prestasi pemikiran, gerakan, dan program pemberdayaan Fatayat NU pada fase ini antaralain; kerjasama dengan Ford Foundation, The Asia Foundation (TAF), BKKBN, AusAID, program Kelangsungan Hidup dan Perlindungan Ibu dan Anak (KHPIA), mendirikan Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempaun(LKP2), kerjasama dengan JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat), kerjasama dengan LAKPESDAM NU, program PIKER (Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi), dan lain-lain, halaman 119-192.
Meskipun buku ini telah terbit sejak 2005, 18 tahun lalu, buku setebal 208 halaman ini wajib dibaca oleh jajaran pengurus dan anggota / kader Fatayat NU di seluruh Indonesia bahkan Cabang Istimewa di luar negeri, sebagai bahan refleksi sekaligus bahan diskusi, sejatinya keberadaan Fatayat NU hari ini di Nusantara dan di luar negeri / cabang istimewa adalah berkat proses perjuangan Fatayat NU pada periode sebelumnya.
IDENTITAS BUKU :
Judul : Menapak Jejak Fatayat NU Sejarah Gerakan, Pengalaman dan Pemikiran
Penulis : Neng Dara Affiah, dkk
Penerbit : PP Fatayat NU, Jakarta
Tahun Terbit : Juli, 2005
Tebal : xxiv + 208 Halaman
Nomor ISBN : 979-99784-0-8
Peresensi : Akhmad Syarief Kurniawan, warga NU dan peneliti LTN NU Lampung Tengah.