Nagari Pilubang Kecamatan Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat, merupakan nagari yang lumayan luas. Wilayah ini terbentang dari Selatan hingga ke Utara. Sebagian wilayahnya berada di pinggir pantai Samudera Hindia. Sebagian lagi di daratan yang terdapat lahan pertanian dan perkebunan rakyat.
Di Nagari Pilubang yang berkuasa adalah
ninik mamak penghulu nan gadang basa batuah. Ninik mamak tersebut berhimpun
dalam delapan penghulu yang menjadi
pemimpin di dalam Nagari Pilubang. Delapan penghulu itu sesuai pula dengan
pembagian Nagari Pilubang ke kampung-kampung yang ada. Pertama, Padang Galo
dengan datuknya Datuak Basa yang bersuku Caniago.
Kedua, Pinjauan dengan datuknya, Datuak
Rajo Bijayo bersuku Sikumbang. Ketiga, Durian Daun, datuaknya, Datuk
Bandaro Kuniang dari suku Koto. Keempat,
Sibueh dengan datuknya, Datuak Marajo
Sati bersuku Mandahiliang. Kelima, Sungai Sirah dengan datuknya, Datuak Marajo
Lelo bersuku Tanjung. Keenam, Lembak Pasang dengan datuknya Datuak Rangkayo
Hitam bersuku Mandahiliang. Ketujuh, Kampung Jua dengan datuknya, Datuak Mudo
bersuku Caniago. Kedelapan, Pasir Baru dengan datuknya, Datuak Maruhun bersuku
Sikumbang. Delapan penghulu inilah yang menjadi pemuka masyarakat di Nagari
Pilubang.
Di Pinjauan Tinggi tersebutlah Pakiah
Caduik. Pakiah Caduik pernah mengaji (belajar) agama Islam ke Ulakan bersama
Syekh Burhanuddin. Di Nagari Pilubang di kala itu masih banyak masyarakat yang
menikmati makanan yang mentah, termasuk
makanan yang haram.
Karena kedalaman ilmu agama yang
dikuasai Pakiah Caduik masih belum mendalam, maka orang bertanya perihal agama
Islam, jawabannya tidak tuntas. Ibarat kata orang Minang, kajinya indak
mamutuih. Padahal masyarakat sangat mengharapkan kejelasan dari apa yang
ditanyakan kepada Pakiah Caduik yang dianggap sudah memiliki pengetahuan yang
luas terhadap nilai-nilai agama Islam.
Akhirnya berkumpullah delapan orang
datuak pemuka masyarakat Pilubang tersebut di atas. Mereka mendatangi Pakiah
Caduik untuk bisa dipertemukan dengan Syekh Burhanuddin di Ulakan. Sesuai
dengan kesepakatan, mereka berangkat bersama Pakiah Caduik ke Ulakan. Rombongan
dari Pilubang menemui Syekh Burhanuddin untuk meminta seorang guru yang bisa
ditempatkan di Nagari Pilubang. Sebagai penghargaan kepada guru yang diminta
tersebut, disediakan tanah seluas 80 X 80 meter persegi sebagai cikal
bakal tempat mengembangkan dan belajar ilmu-ilmu agama dan
kemasyarakatan lainnya.
Menanggapi permintaan dari penghulu yang
datang dari Nagari Pilubang tersebut, Syekh Burhanuddin merekomendasikan salah
seorang muridnya bernama Aminullah, yang berasal dari Marunggi, Kuraitaji.
Selanjutnya Aminullah ditunjuk menjadi kadi nagari Pilubang, bersamaan dengan
tiga kadi lainnya untuk nagari Ulakan, Lubuk Ipuh, VII Koto dan Pilubang di
Kecamatan Sungai Limau. Di Lubuk Ipuh dikenal dengan Kadi Syekh Abdurrahman.
Aminullah pun dipersilakan menempati tanah yang sudah
dipersiapkan seluas 80 X 80 meter persegi. Masyarakat Pilubang menjadikan
Aminullah tempat balinduang (berlindung) dari berbagai ragam masalah yang
dihadapinya. Aminullah kemudian mempersunting salah seorang perempuan
Pilubang. Karena banyak orang di
Pilubang mencari perlindungan kepada Aminullah, maka pelan-pelan namanya sering
dipanggil Syekh Balinduang. Nama itu hingga sekarang terpajang di gubah masuk
kawasan makam Syekh Balinduang, maupun di pintu masuk makamnya, tertulis MAKAM
SYEKH BALINDUANG PILUBANG. Diperkirakan, Syekh Balindung wafat setelah 50 tahun
wafatnya Syekh Burhanuddin. Artinya, Aminullah masih di usia sangat muda
belajar dengan Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan, kemudian tidak lama
setelah Aminullah disuruh ke Pilubang, Syekh Burhanuddin wafat.
Syekh Balinduang selain sebagai tempat
berlindung bagi masyarakat Nagari Pilubang, juga mengajar anak pakiah (santri).
Anak pakiahnya tidak hanya dari Pilubang, tapi juga dari luar Pilubang. Banyak
juga anak pakiahnya dari Malalo, nagari yang berada di pinggir Danau Singkarak
Kabupaten Tanah Datar. Bahkan ada diantara santrinya yang menikah dengan
perempuan di sekitar surau Syekh Balinduang, yakni yang terkenal PakiahBatuah.
Dari perempuan yang dinikahi Pakiah Batuah, melahirkan sejumlah anak.
H. Sa’ali Tuanku Mudo yang lahir tahun
1937, setelah mengaji di surau Cubadak Sungai Asam dan di surau Syekh Kiambang pulang
kampung. Tahun 1964 mulai mengajar anak pakiah di Surau Anak Aia di Kubu
Kaciak, kurang lebih 2 kilometer dari makam Syekh Balinduang. Ketika Sa’ali
diangkat menjadi petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk
(P3NTR) Nagari Pilubang tahun 1972, praktis kegiatan mengajar anak pakiah
terhenti. Waktunya lebih banyak dihabiskan mengurus pernikahan masyarakat di
Nagari Pilubang.
Tahun 1985, Sa’ali kembali mengajar
dengan mendirikan pesantren Luhur Syekh Balinduang. Karena aktifitas Sa’ali sebagai
P3NTR sudah banyak digantikan Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Sungai Limau. Saat ini ada 20-an anak pakiah di Pesantren Luhur Syekh
Balinduang.
Sa’ali sendiri mulai belajar agama Islam
di surau Cubadak Sungai Asam Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkuang dari tahun
1954-1957. Terjadinya pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) di Sumatera Barat, juga berpengaruh terhadap proses pendidikan di Surau
Cubadak. Aktifitas belajar terhenti. Sa’ali pun tidak bisa melanjutkan pendidikannya.
Setelah suasana mulai kondisi, tahun 1959 Sa’ali melanjutkan mengaji ke Syekh
Kiambang di Kiambang Sicincin. Di sini Sa’ali belajar dari tahun 1959 hingga
1964. Sa’ali sempat pula belajar kepada buya Razak, pendiri pesantren Mato Aia
Pakandangan.
Menurut Sa’ali Tuanku Mudo, keistimewaan
Syekh Balinduang antara lain sering jika didatangi orang yang maksud hendak bernazar. Kalau
keinginannya tercapai atau terkabul, maka orang yang mendatangi tersebut
bernazar. Sering kali yang bernazar tersebut terkabul apa yang diinginkannya.
Sehingga cukup sering orang mendatangi Syekh Balinduang agar nazarnya terkabul.
Kedua, sebagai ulama, Syekh Balindung
seringkali pula menjadi tempat meminta obat bagi yang mengalami penyakit atau
demam. Dulu, sebagaimana biasanya para ulama yang alim dan banyak paham agama
Islam dianggap memiliki kemampuan menyembuhkan penyakit setelah diberikan
sesuatu ramuan, doa, benda atau nasihat saja. Suatu kali datang seseorang ke
tempat tinggal Syekh Balinduang meminta
obat untuk penyembuhan demam yang dideritanya. Ternyata sesampai di rumah Syekh
Balindung, Syekh Balinduang sendiri tengah berada di seberang sungai yang hanya
beberapa puluh meter dari rumahnya. Kala itu air sungai lagi meluap sehingga
Syekh Balindung tidak bisa langsung pulang. Setelah disampaikan dari seberang
sungai maksud kedatangan menemui Syekh Balindung hanya meminta obat, maka dari
seberang sungai Syekh Balinduang hanya bersorak dari seberang, “Sudah obatnya,
pulanglah lagi.”
Orang tersebut langsung pulang dengan membawa
kembali ramuan yang disiapkan untuk didoakan oleh Syekh Balinduang. Sesampai di
rumah, ramuan tersebut diobati kepada yang sakit. Alhamdulilah sembuh.
Ketiga, Syekh Balinduang tiba-tiba
menyuruh isterinya untuk menyiapkan bumbu masakan ikan. Sang isteri semula bertanya, ikan belum
ada tapi sudah disuruh menyiapkan bumbu dan santannya. Karena patuh pada
suaminya, sang isteri langsung menyiapkan bumbu dan santan di dapur. Sementara
Syekh Balinduang menuju sungai yang berjarak beberapa puluh meter dari tempat
tinggalnya. Tak lama kemudian kembali lagi dengan membawa ikan yang siap untuk
digulai/dimasak. Padahal Syekh Balinduang tidak membawa pancing atau alat
penangkap ikan lainnya ke sungai. Tapi hanya sebentar ke sungai, pulangnya
sudah membawa ikan untuk dimasak isterinya yang sudah menyiapkan bumbunya.
Beberapa meter dari makam Syekh
Balindung terdapat sumur. Sumur ini sering dimanfaatkan masyarakat sebagai
lokasi membawa bayi turun mandi. Karena dianggap akan memberikan kebaikan
kepada bayi kelak jika sudah besar. Sekarang sudah mulai jarang yang membawa
bayinya turun mandi ke sumur ini. Boleh jadi karena tradisi turun mandi semakin
banyak ditinggalkan kaum ibu-ibu terhadap bayinya. Sumur ini juga tidak pernah
kering, sekalipun musim kemarau mencapai tiga bulan.
Sebagai murid dari Syekh Burhanuddin,
pengikut Syekh Balinduang juga mengadakan Safa Ketek (kecil), setelah
dilaksanakan Safa Gadang (besar), di bulan Safar tahun hijriah. Safa Ketek
diikuti dari jamaah yang berada di Nagari Pilubang, Koto Bangko Sungai
Geringging dan nagari lainnya di sekitar Pilubang. Safa Ketek sudah dimulai
sejak tahun 1950-an.
Syekh Balinduang dengan postur tubuh
gemuk agak rendah. Salah seorang ponakan dari Syekh Balinduang adalah Tuanku
Kuning Kubu yang berasal dari Rambai Kuraitaji Pariaman. Tuanku Kuniang ini
dikenal juga dengan Tuanku Kubu Pinjawan.
Tuanku Kubu Pinjawan ini terkenal sebagai ulama yang bisa mengobati berbagai penyakit. Dalam pelayanannya, hanya
sampai pukul 11.00 WIB. Setelah itu pintu rumahnya langsung ditutup. Sampai
pukul 13.00 WIB, kemudian dibuka kembali.
Konon Tuanku Kuniang ini Jumatannya ke
Mekah. Semula orang di Nagari Pilubang tidak yakin kalau Tuanku Kuning shalat
Jumatnya ke Mekah. Namun ketika ada orang Pilubang yang tengah melaksanakan ibadah
haji, tahu betul dengan Tuanku Kuniang ini. Ia menyaksikan Tuanku Kuniang
shalat Jumat di Mekkah. Sesampai di Pilubang dan bertemu langsung dengan Tuanku
Kuniang. Ia sangat yakin yang ditemui di Mekkah saat menunaikan ibadah haji,
benar-benar Tuanku Kuniang. (armaidi tanjung)
Wawancara H.Sa’ali Tuanku Mudo, di
Pesantren Luhur Syekh Balinduang, Nagari Pilubang, Kecamatan sungai Limau,
Kabupaten Padang Pariaman 4 Mei 2023.