Oleh : Ryan Syahputra (Mhs. PMI UIN IB Padang)
Mengeluh, putus asa, sedih, senang, dan sifat lainnya merupakan suatu respon yang muncul dari sikap seseorang dalam menghadapi suatu keadaan. Cenderung jika seseorang diberikan keadaan yang baik, mereka spontan senang dan bahagia. Sebaliknya, jika ditimpakan sesuatu yang kurang menyenangkan, responnya sedih, putus asa, dan berharap kuat agar suatu musibah segera hilang.
Ternyata sifat mengeluh kesah adalah sifat dasar yang ada pada
setiap manusia. Sebagaimana firman Allah di surat Al-Ma’arij (70) ayat 19,
اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًاۙ
Artinya: “Sesungguhnya
manusia diciptakan dengan sifat keluh kesah lagi kikir”.
Ayat tersebut seakan menerangkan, bahwa Allah Swt. telah mengklaim
manusia pada umumnya mempunyai sifat tersebut. Tidak terlepas dari sabda nabi,
bahwa jauh 14 abad sebelumnya telah dijelaskan bagaimana seharusnya cara
manusia dalam merespon setiap keadaan. Pertama, jika ditimpakan kebaikan kepada
manusia maka sifat yang harus dimunculkan ialah bersyukur. Kedua, jika diujikan
dengan musibah, harus direspon dengan sikap sabar. Kedua sifat tersebut adalah
bentuk syukur kepada Allah, bahkan Allah tidak akan menurunkan ujian kepada
hambanya melainkan ada kebaikan yang terkandung di dalamnya. Di antaranya
dengan ujian seorang hamba bisa kembali kepada Allah, sebagai penggugur
dosa-dosa, sebagai sarana pengangkatan derajat, dan lainnya.
Belajar dari kisah-kisah umat terdahulu yang kebanyakan mereka
lupa bagaimana mensyukuri setiap kondisi dan keadaan yang ada. Bahkan merekan
berani melawan dan menantang nabi dan rasul yang diutus kepada mereka. Seperti
umatnya nabi Musa a.s., yang pada saat itu dipimpin seorang raja yaitu Fir’aun
yang menguasai dan memerintah daerah Mesir. Karena adanya kesalahan menyikapi
nikmat kekuasaan, maka Fir’aun menjadi sombong dan angkuh, serta merasa bahwa
ia adalah Tuhan yang harus di sembah masyarakatnya. Selanjutnya Qarun yang
diberikan nikmat harta yang berlimpah, karena terbuai dengan harta maka ia pun
menjadi pelit dan kikir. Kemudian, tokoh intelektualnya Fir’aun yang bernama
Hamman yang diberikan nikmat kepandaian, tetapi karena salah merespon nikmat
kepandaian tersebut yang ia gunakan untuk menjilat dan menghasut Fir’aun maka
mereka pun sama-sama dihukum dan diazab oleh Allah.
Kisah tersebut seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita
untuk senantiasa menerima dan mensyukuri setiap nikmat dan keadaan yang
terjadi. Bukti sayangnya Allah kepada hambanya manusia diberikan-Nya kiat-kiat
agar kita bisa lepas dari sifat keluh kesah tersebut. Solusi agar kita bisa
terlepas dari sifat keluh kesah dijawab Allah langsung pada surat Al-Ma’arij
(70): 22-34, berikut uraiannya:
1. Orang yang selalu
memelihara shalatnya
(23) اِلَّا الْمُصَلِّيْنَۙ (22) الَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى
صَلَاتِهِمْ دَاۤىِٕمُوْنَۖ
Artinya: (22) kecuali orang-orang yang melaksanakan salat,
(23) mereka yang tetap setia melaksanakan salatnya,
Tidak cukup untuk melaksanakan shalat semata agar terlepas dari
sifat keluh kesah, tetapi dibutuhkan keseriusan untuk senantiasa menjaga waktu
shalat. Maksudnya, orang yang memelihara shalat dapat dilihat dari perilaku
dalam mengelola waktunya, mereka mampu berhenti beraktivitas apapun jika waktu
shalat akan masuk, mereka berusaha agar tidak menunda-nunda waktu shalat.
Selain itu, orang yang memelihara shalat terlihat dari perilakunya sesudah
shalat. Mereka akan senantiasa menjaga diri dari perbuatan yang sia-sia. Hal
ini senada dengan pernyataan Allah di surat Al-Ankabut ayat 45, bahwa shalat
dapat memelihara hamba dari perbuatan tercela (nahi munkar).
2. Orang yang senantiasa
membersihkan hartanya (bersedekah)
(25) وَالَّذِيْنَ فِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌۖ (24) لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِۖ
Artinya: (24) dan
orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, (25) bagi
orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta,
Ayat ini mengandung amalan ibadah sosial terhadap sesama manusia.
Adanya perintah untuk saling memperhatikan dan berbagi kepada orang-orang
sekitar terutama yang mengalami kesulitan. Mengeluarkan harta dengan bersedekah
ataupun berzakat merupakan cara melatih diri untuk bersyukur atas nikmat yang
diberikan Allah kepada setiap hamba-Nya. Sejatinya harta yang dimiliki dan
diperoleh saat ini, terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai
kadarnya. Dengan senantiasa berbagi, menjadikan hati lunak untuk bisa merasakan
kesulitan orang-orang yang hidup dengan kesulitan.
3. Orang yang
membuktikan keimanannya terhadap hari pembalasan dengan perbuatannya
(26) وَالَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِۖ
Artinya: dan
orang-orang yang mempercayai hari pembalasan,
Selanjutnya, orang yang bisa terbebas dari sifat keluh kesah serta
kikir ialah orang-orang yang mempunyai keyakinan kuat terhadap adanya hari
pembalasan yang dibuktikan dari perbuatannya. Pengamalan ayat ini juga
tergambarkan pada surat Al-Zalzalah (99): 7-8, yang artinya:
“Barang siapa yang
berbuat kebaikan walaupun seberat biji zarah (seberat semut kecil), niscaya
akan dibalasi pahalanya. Dan barang siapa yang berbuat kejahatan seberat biji
zarah, niscaya kejahatan itu juga akan dibalasi”.
Penulis menekankan bahwa ayat-ayat tersebut saling bermunasabah
(saling berkaitan). Hal ini karena adanya kesinambungan antara surat Al-Ma’arij
ayat 26 yang memberikan sebuah pernyataan tentang perintah untuk mengimani hari
pembalasan dengan surat Al-Zalzalah ayat 7-8 yang menjawab pernyataan dari
surat Al-Ma’arij ayat 26. Bentuk meyakini hari pembalasan ialah dengan adanya
rasa selalu diawasi oleh Allah bahwa semua perbuatan baik atau buruk yang
dilakukan pasti akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Dengan
memunculkan rasa selalu diawasi, seorang hamba cenderung membatasi diri untuk
melakukan dan memunculkan perbuatan yang menyimpang.
Orang yang percaya dengan hari pembalasan melewati sebesar apapun
cobaan atau musibah yang ada, akan dilewati dengan hati yang sabar lagi ikhlas.
Ketenangan dalam menerima cobaan akan muncul karena mereka tau bahwa setiap
cobaan yang menimpa mereka pasti memiliki solusi dan jalan keluarnya. Mereka
tau bahwa dengan kesabaran, akan memberikan jaminan pahala besar yang akan
mereka terima di akhirat kelak. Dengan mengimani hari pembalasan, mustahil
seorang hamba akan kecewa dan berkeluh kesah terhadap kondisi hidup yang mereka
jalani.
4. Orang yang selalu
takut dengan adzab Allah
(28) وَالَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَۚ (27)
اِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍۖ
Artinya: (27) dan orang-orang yang takut terhadap
azab Tuhannya, (28) sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka,
tidak ada seseorang yang merasa aman (dari kedatangannya),
Berhubungan dengan ayat sebelumnya, orang-orang yang berusaha
mengimani hari pembalasan akan takut berbuat yang dilarang tuhannya, karena
mereka tau setiap dan sekecil apapun perbuatan, akan dibalasi di akhirat. Hati
yang keras, kikir, serta suka mengeluh terhadap kondisi yang diberikan Allah,
merupakan bukti tidak mensyukuri nikmat Allah. Orang-orang yang menganggap
bahwa nikmat itu hanya uang, harta benda, atau materi lainnya mereka termasuk
ke dalam golongan orang yang kufur. Sejatinya apa yang diberikan Allah, apa
yang bisa kita rasakan itu semua adalah nikmat. Seperti udara yang kita hirup,
kesehatan yang kita rasakan jauh lebih besar daripada uang atau materi lainnya,
bahkan ibadah yang khusyu’ adalah nikmat besar-Nya Allah yang diberikan kepada
kita. Perlu diingat sesuai yang dijanjikan-Nya di dalam Surat Ibrahim ayat 7
bahwa orang-orang yang selalu meremehkan dan mengabaikan nikmat yang diberikan
Allah mereka akan menerima adzab yang pedih baik di dunia maupun di akhirat.
5. Orang yang selalu
menjaga kemaluannya
وَّالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَۙ (29) اِلَّا عَلٰٓى
اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُمَلُوْمِيْنَۚ
(30) فَمَنِ ابْتَغٰى وَرَاۤءَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْعٰدُوْنَۚ
Artinya: (29) dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya, (30) kecuali terhadap istri-istri mereka atau
hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela. (31) Maka
barangsiapa mencari di luar itu (seperti zina, homoseks dan lesbian), mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas.
Ciri-ciri orang yang bisa keluar dari sifat keluh kesah adalah
dengan bersyukur dan ridho terhadap pemberian Allah. Ayat tersebut menjelaskan
mengenai perintah untuk menjaga kemaluan. Pada ayat 31 terdapat perintah
tersembunyi yang harus dilakukan seorang hamba jika ingin terlepas dari sifat
keluh kesah, yaitu sifat sabar. Allah tahu bahwa godaan setan terhadap orang
yang sudah berumah tangga khususnya sangat besar, dan setan memiliki misi
khusus untuk mencerai-beraikan setiap pasangan yang sudah berumah tangga
(tergambar di Surat Al-Baqarah ayat 102). Setan memberikan tipu dayanya kepada
setiap pasangan berumah tangga bahwa rumput tetangga lebih hijau dari rumput
sendiri.
Menyikapi perangai liciknya Iblis dan kroni-kroninya, Allah
memberikan solusi kepada hamba-Nya agar senantiasa menahan hawa nafsunya dari
melihat pasangan-pasangan dan sesuatu hal yang diharamkan. Terdapat perintah
khusus kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk selalu menjaga
pandangannya agar tidak terjatuh dalam kemaksiatan (perzinaan) sebagaimana
dijelaskan Allah dalam Surat An-Nur ayat 30-31. Dari Surat Al-Ma’arij ayat
29-31 ini terdapat perintah bersabar di setiap keadaan.
Syekh Ibnu Abid Dunya merinci sabar ke dalam 3 tingkatan, yaitu
sabar dalam menerima musibah, sabar dalam ketaatan, dan puncaknya sabar dalam
menahan diri dari perbuatan maksiat. Selain itu dengan menjaga pandangan, para
suami-istri akan senantiasa dapat melihat kebaikan-kebaikan dari pasanganya,
hal ini akan mendatangkan sifat sakinah (ketenangan), mawaddah (perhatian), serta
rahmah (kasih sayang) pada sebuah jalinan rumah tangga.
6. Orang yang senantiasa
berkata benar sesuai ucapannya
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَۖ (32)
Artinya: Dan
orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya,
Berikutnya, orang-orang yang dapat keluar dari belenggu keluh
kesah adalah orang-orang yang memelihara janjinya (menepati janji). Rasulullah
saw, telah menjelaskan definisi mukmin sejati, yaitu orang-orang yang meyakini
penuh semua rukun imannya, tidak sekedar diyakini di hati saja, tetapi juga
diucapkan dengan perkataan dan diamalkan dengan perbuatan. Rasulullah di hadits
lain juga bersabda, jika ingin setiap individu selamat, maka peliharalah lisan
dan kemaluan. Makna memelihara lisan ialah berkata dengan benar (tidak
berbohong), menepati janji bila berjanji, dan diam ketika tidak ada kebaikan
yang akan diucapkan.
7. Orang yang tidak
memberikan kesaksian palsu
وَالَّذِيْنَ هُمْ بِشَهٰدٰتِهِمْ قَاۤىِٕمُوْنَۖ (33)
Artinya: dan orang-orang yang berpegang teguh pada
kesaksiannya,
Terakhir, orang-orang yang dapat keluar dari sifat keluh kesah
adalah orang-orang yang memberikan kesaksian sesuai dengan fakta sebenarnya.
Rasulullah saw mengatakan bahwa ada dosa terbesar di antara dosa besar, yaitu
salah satunya adalah memberikan pernyataan palsu (kesaksian palsu). Tentu saja
orang-orang yang melakukan pemberian kesaksian palsu, akan dibenci dan dimusihi
oleh Allah dan rasul-Nya. Imbas dari kebencian Allah dan Rasul-Nya adalah
dengan dicabutnya kenikmatan-kenikmatan hidup. Akhirnya, tidak lagi merasakan
ketenangan, kedamaian, dan kelapangan hati. Maka akan senantiasa menjalani
hidup dengan hati yang gundah gulana akibat melakukan perbuatan yang dilarang
Allah dan Rasul-Nya.
Itulah ketujuh solusi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya agar
kita dapat terhindar dari perbuatan keluh kesah. Sifat keluh kesah merupakan
sifat dasar yang tidak dapat dielakkan dan pasti melekat pada jiwa manusia,
karena Allah telah menyatakan hal tersebut di surat Al-Ma’arij ayat 19.
Kewajiban kita sebagai hamba-Nya berusaha bagaimana agar sifat keluh kesah yang
tergolong sifat yang tidak disukai Allah dapat hilang dari diri kita, caranya
dengan melakukan ketujuh cara yang telah penulis paparkan di atas.
Daftar Pustaka:
- Syekh Ibnu Abid Dunya, Ash-Shabru
wa Tsawab ‘alaihi.
- Tafsir Al-Jalalain surat
Al-Ma’arij
- Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 102
- Q.S Al-Ankabut (29) ayat 45
- Q.S Ibrahim (14) ayat 7
- Q.S. Al-Zalzalah (99) ayat 7-8
- Q.S. An-Nur (24) ayat 30-31
- Hr. Bukhari no. 6408 tentang
kesaksian palsu